Sabtu, 19 November 2011

Dikutip dari makalah : Prof. Iskandar
Pendahuluan : Kesenjangan Keuangan dan Ekonomi Desa
Sampai saat ini, pembangunan desa masih dihadapkan banyak kendala dan bahkan menjadi beban. Beban pemerintah pusat maupun kabupaten. Kenyataan menunjukkan bahwa desa masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas, yang kompeten, yang baik, yang profesional. Demikian pula sumber daya pembiayaan yang masih kurang memadai baik yang berasal dari kemampuan desa itu sendiri (PADesa), yang utama maupun dari luar. Selain itu, sebagian lembaga sosial ekonomi di desa belum berjalan dengan baik.
Pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten secara konsepsional pada dasarnya telah memiliki komitmen yang kuat untuk mengotonomikan desa. Namun secara operasional nampaknya pemerintah kabupaten masih ‘setengah hati’ merespons implementasi otoritas/kewenangan pengelolaan keuangan desa. Ada kesan kalau mengotonomisasikan desa (dengan menyerahkan pengelolaan sejumlah urusan pemerintahan kabupaten ke desa) maka kabupaten hanya akan kehilangan kewenangan dan pendapatan.
Kesan semacam ini sudah selayaknya ditinggalkan, karena justru dengan mengotonomisasikan desa, pemerintah kabupaten dapat berbagi tanggungjawab dengan desa. Dengan demikian, mampu mengurangi beban kabupaten, dari sisi keuangan daerah. Kabupaten tidak harus jadi kehilangan kewenangan dan pendapatan hanya karena membagi ‘jatah’ keuangan kepada desa yang memang menjadi hak desa dan memberikan keleluasaan kepada desa mengelola sumber-sumber pendapatan desanya. Justru dari sisi ini, pemerintah kabupaten sekaligus mereposisi financial gap antara kota dan desa sebagaimana yang berlangsung saat ini, di mana kebijakan pembangunan didominasi dengan pendekatan yang sektoral dan serba perkotaan.
Sebenarnya regulasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan keuangan dan ekonomi desa telah banyak dibuat, khususnya pada level pemerintah pusat. Regulasi tersebut antara lain;
  1. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
  2. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
  3. UU No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
  4. UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
  5. UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  6. PP. Nomor72 Tahun2005 Tentang Desa
  7. Permendagri no.30 th.2006 tentang TATACARA PENYERAHAN URUSAN PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA DESA
  8. Permendagri no.37 th.2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa
  9. Surat Edaran Mendagri No. 140/640/SJ tertanggal 22 Maret 2005 Tentang Pedoman Alokasi Dana Desa (ADD)
  10. Surat Edaran Menteri tentang pengelolaan keuangan desa dan ADD,
  11. Perda kab.Kukar no.16 tahun 2007 tentang Keuangan Desa
  12. Perbub kab.Kukar no.11 tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa
  13. Perbub kab.Kukar no.12 tahun 2008 tentang Alokasi Dana Desa,
  14. dlsj.
Pengelolaan keuangan dan ekonomi desa yang diatur dalam sejumlah aturan tersebut sebenarnya sebagian atau seluruhnya telah banyak kita pahami. Lalu masalahnya adalah mengapa kondisi desa di kabupaten Kutai Kartanegara masih tetap tertinggal hingga saat ini ?
· Penduduk miskin (SM + M) masih tinggi, pada tahun 2007 sebanyak 120.717 jiwa (29,18% dari total penduduk desa), sebagaimana nampak pada tabel berikut ;
· Masih terdapatnya kantong-kantong kemiskinan di pedesaan yang dipandang berkesinambungan seperti pada tabel berikut :
· Tingkat pendidikan sebagian besar rendah (kualitas SDM kurang).
· Sumber daya pembiayaan yang masih kurang memadai baik yang berasal dari kemampuan desa itu sendiri (PADesa), yang utama maupun dari luar desa.
· Umumnya lembaga sosial ekonomi di desa belum berjalan dengan baik.
Pada hal di satu sisi potensi SDA desa sangat besar. Seperti kita ketahui bahwa apapun sumber daya itu, khususnya SDA, sesungguhnya sebagian besar ada di desa bukan di kota. Oleh karena itu penting sekali bagi kita melihat desa sebagai obyek utama pembangunan daerah.
Kondisi Umum Potensi Desa
Sebagaimana diketahui bahwa baik sumber daya manusia (SDM) atau penduduk maupun potensi sumber daya alam (SDA) sebagian besar berada di desa. Bila melihat data-data umum BPS kab.Kukar maka nampak bahwa ;
· Jumlah penduduk desa (185 desa) 413.657 jiwa (76,29% dari total pendu-duk kab. Kukar.
· Potensi tambang migas dan non migas di Kabupaten Kutai Kartanegara, sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Dari minyak bumi dan gas alam serta batu bara merupakan hasil tambang yang sangat besar pengaruhnya dalam perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara, semua berada di desa.
· Potensi pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan maupun potensi objek wisata alam semua berada di desa.
· Demikian pula jika di lihat dari struktur perekonomian kabupaten Kukar maka nampak sebagai berikut ;
· Perkembangan makro ekonomi kabupaten Kutai Kartanegara sejak th. 2000 hingga th. 2006 masih didominasi sektor pertambangan dan penggalian dan sektor pertanian.
· Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB (dng.migas) rata-rata mencapai ± 79,9% dan sektor pertanian (dalam arti luas) mencapai 8,6%.
· Namun bila di lihat dari daya serap tenaga kerja, maka :
o Sektor pertanian = 44%.
o Sektor jasa = 14 %.
o Sektor perdagangan = 11 %.
o Sektor pertambangan = 8 %.
(Bappeda,RPJM;2005).
· Keadaan ini menunjukkan bhw. pembangunan pertanian di kab. Kutai Kartanegara tetap dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi di daerah ini.
· Beberapa alasan yg.mendasari pentingnya pertanian khususnya di kab.Kutai Kartanegara :
1. Besarnya penduduk yg. menggantungkan hidupnya pada sektor ini di pedesaan (daya serap tenaga kerja yang tinggi, yaitu 44% pd.th.2005), dan
2. Pangsa terhadap pendapatan daerah masih cukup besar (kontribusi terhadap PDRB cukup tinggi, dibanding dengan sektor-sektor lainnya/non sektor pertambangan)
3. Potensi sumberdayanya yg. besar dan beragam,
4. Menjadi basis pertumbuhan di wilayah pedesaan.
Gambaran umum kondisi desa di atas setidaknya mampu memandu pemerintah kabupaten dalam mengelola potensi ekonomi desa.
Setelah mengkaji berbagai regulasi maupun kondisi umum ekonomi dan keuangan desa maka, sudah selayaknya kini pemerintah kabupaten memberikan sebagian otoritas/kewenangan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa melalui penyerahan urusan pemerintahan kabupaten kepada desa secara selektif (dalam arti melalui kajian mendalam).
Penyerahan Urusan Pengelolaan Ekonomi dan Keuangan kepada Desa
Pemerintahan Desa pada dasarnya merupakan penyelenggara urusan pemerintahan bersama Badan Permusyawaratan Desa, yang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan peraturan menteri dalam negeri nomor 30 tahun 2006, pemerintah kabupaten sebenarnya dapat menyerahkan sebanyak 31 jenis urusan pemerintahan kepada desa (rincian urusan terlampir). Namun penyerahan urusan tersebut sudah tentu harus disertai dengan sejumlah persyaratan tertentu, seperti ;
  • Adanya pengkajian dan evaluasi terhadap jenis urusan yang akan diserahkan kepada Desa dengan mempertimbangkan aspek; letak geografis, kemampuan personil, kemampuan keuangan, efisiensi dan efektivitas.
  • Kesiapan pemerintahan desa untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan tersebut. Kesiapan pemerintahan desa untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan Kabupaten, ditetapkan dng.Keputusan Kepala Desa atas persetujuan Pimpinan BPD.
Khusus penyerahan urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa, terdapat beberapa alasan mengapa implementasi/penyerahan otoritas/ kewenangan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa menjadi sebuah kebutuhan dalam sebuah sistem pemerintahan:
o Pertama, otoritas/kewenangan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa dapat menjadi wahana yang baik bagi peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan daerah dan diharapkan :
n prakarsa pembangunan tumbuh dan berkembang dari aspirasi masyarakat Desa,
n sehingga masyarakat desa akan memiliki sense of belonging dari setiap derap dan hasil pembangunan di desanya;
o Kedua, otoritas/kewenangan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa menjadi dasar perwujudan dari proses demokrasi, masyarakat bermusyawarah memutuskan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhannya sesuai dengan kondisi objektifnya.
o Ketiga, otoritas/kewenangan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa, juga dapat dipandang sebagai sarana bagi pemberdayaan masyarakat pedesaan, ini karena ide, prakarsa dan pelaksanaan pembangunan berasal dari dan oleh masyarakat desa sendiri, pemerintah kabupaten menjadi fasilitator, mediator dan motivator pembangunan Desa;
o Keempat, otoritas/kewenangan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa sebagai otonomi asli bermakna bahwa desa menjadi sarana pelaksanaan pemerin-tahan desa yang berdasarkan atas asal-usul desa yang bersangkutan.
n Potensi ekonomi dan keuangan desa maupun pola pengelolaannya tidaklah dapat diseragamkan, karena memiliki karakteristik dan budaya masing-masing yang berbeda-beda satu desa dengan yang lainnya, melalui implementasi otoritas/kewenangan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa, keanekaragaman tersebut dapat terpelihara secara baik dan berkesinambungan.
Setidaknya terdapat empat hal penting yang perlu dilakukan dalam menggulirkan kebijakan otoritas/kewenangan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa, yaitu ;
o Pertama, menyusun, memetakan dan menetapkan jenis kewenangan, khususnya berkaitan dengan pengelolaan ekonomi dan keuangan yang diberikan kepada Desa berdasarkan kajian ilmiah,
o Kedua, menganalisis dan menetapkan besaran dana yang akan didistribusikan kepada Desa sebagai akibat dari desentralisasi kewenangan tersebut.
o Ketiga, mengembangkan kapasitas SDM Desa dan
o Keempat, revitalisasi kelembagaan Desa.
Kemandirian Desa
Pengelolaan ekonomi dan keuangan desa yang akurat sesuai dengan kapasitas itu sesungguhnya saat ini di kabupaten Kukar belum ada, tapi ini diperlukan. Demikian pula jika tujuan kemandirian desa dapat dicapai maka ini artinya mengurangi beban kabupaten, dari sisi keuangan daerah. Sekaligus mereposisi financial gap antara kota dan desa sebagaimana yang berlangsung saat ini, di mana kebijakan pembangunan didominasi dengan pendekatan yang sektoral dan serba perkotaan.
Manakala program alokasi dana desa (ADD) berjalan baik, dalam arti misalnya mampu meningkatkan PADesa, maka kemandirian desa itu akan tergambar dari semakin kecilnya ADD ke desa. Selain itu, semakin besar kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten kepada desa, maka diharapkan semakin besar pula kemandirian desa itu.
Praktek-praktek Upaya Pengelolaan Ekonomi dan Keuangan Desa di beberapa daerah di Indonesia
Implementasi konsep pemberdayaan desa / kelurahan dalam pengelolaan PAD telah dilakukan sebagian daerah. Hasil riset yang dilakukan Joana Ebbinghaus & Fajar Sudarwo (2004) di :
1. Kabupaten Lombok Timur, Dompu, Bima, Alo dan Sumba Timur, menunjukkan, Kabupaten Lombok Timur telah memberikan imbangan galian golongan C sebesar Rp 10 juta yang dimasukkan dalam APBDes di setiap Desa.
2. Kabupaten Sumba Timur sudah ada pembagian retribusi dan hasil pajak Rp 17,5 juta untuk ekonomi rakyat per desa.
3. Kabupaten Alor menggunakan SK bupati menentukan formulasi perhitungan bagi hasil pajak (pajak bumi dan bangunan, pajak galian golongan C, pajak penerangan jalan), dan retribusi dengan formulasi 10% desa, 90% kabupaten. Dana 10% dibagi antara desa penghasil 50% dan 50% sisanya dibagi merata antar desa lainnya.
Penutup; saran
Berbagai kegiatan pengelolaan ekonomi dan keuangan desa hendaknya memiliki sasaran pokok antara lain yakni :
· tertatanya pengambilan keputusan pengelolaan ekonomi dan keuangan oleh pemerintah desa yang sinergi berdasarkan porsi kewenangan yang dimiliki;
· dipahaminya proses partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pembangunan ekonomi di tingkat desa dan,
· kemapanan pengelolaan kegiatan pembangunan di tingkat desa dalam kerangka pemulihan kemandirian (ekonomi) masyarakat desa secara berkelanjutan.

0 komentar:

Posting Komentar