Bagaimana posisi dan kewenangan atau  format otonomi desa yang tepat di Indonesia? Perjalanan dan pengalaman  saya di banyak daerah memperlihatkan bahwa pertanyaan fundamental itu  selalu muncul ke permukaan, tetapi jawaban secara akademik dan komitmen  politik belum begitu gamblang. Di satu sisi penegasan posisi dan  kewenangan desa selalu dibayangi kesulitan tentang budaya, struktur  politik lokal, tradisi dan pengalaman lokal yang begitu beragam. Di sisi  lain doktrin NKRI selalu muncul sebagai pembatas dan penghalang atas  berkembangnya ide-ide otonomi lokal yang lebih luas, termasuk otonomi  desa.
Di tengah-tengah kesulitan itu, INSTITUTE  FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) telah mempublikasikan sebuah buku  yang bertitel Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa (2005), dan saya  sendiri menulis tema “Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan Otonomi Desa”  (Insitute for Local Development dan Yayasan Tifa, 2005). Kedua tulisan  itu secara gamblang membuat peta pilihan-pilihan otonomi desa yang  melampaui kesulitan akan keragaman desa dan ketakutan akan hancurnya  NKRI. Melaui makalah ini saya hendak membeberkan kembali tentang format  otonomi desa (posisi dan kewenangan desa) yang lebih tepat dalam konteks  keragaman lokal.
Namun sebelum makalah ini mengarah kesana, ada baiknya saya kemukakan dulu tiga ide tentang posisi desa sejak dekade 1950-an.
Pertama, ide tentang desa sebagai “daerah  otonom” tingkat III yang muncul pada dekade 1950-an hingga 1960-an.  Sampai era Orde Baru, Prof. Selo Soemardjan termasuk pendukung ide desa  sebagai “daerah otonom” tingkat III. Namun pada masa Orde Baru ide itu  tidak populer lagi, meski UU No. 5/1974 menegaskan daerah otonom tingkat  I dan daerah otonom tingkat II. Di era sekarang, khususnya sejak 1999,  ide tentang “otonomi bertingkat” tidak populer lagi.
Kedua , ide desa sebagai self governing  community. Ide ini sebenarnya identik dengan konsep desa sebagai  kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah lama dikenal dalam  undang-undang, termasuk UU No. 5/1979. Namun konsep self governing  community itu terus-menerus dikemukakan oleh Prof. Ryaas Rasyid. Konsep  itu sebenarnya identik dengan konsep “otonomi asli” yang sering kita  bicarakan. “Serahkan sepenuhnya desa menjadi urusan rakyat, pemerintah  tidak perlu mengurus desa”, demikan seru Prof. Ryaas Rasyid (2001) dalam  sebuah lokakarya di Yogyakarta. Bahkan Ryaas Rasyid tidak setuju dengan  Alokasi Dana Desa dari pemerintah, sebab kebijakan ini berarti negara  mengurus desa terlalu jauh. Kalangan yang terlalu romantis pada desa  atau “otonomi asli” sedikit banyak setuju dengan ide Ryaas Rasyid.  Kamardi, ketua Asosiasi Kepala Desa Lombok Barat, juga melontarkan ide  serupa. “Pusat tempat sentralisasi, provinsi tempat dekonsentrasi,  kabupaten/kota tempat desentralisasi dan desa tempat otonomi asli”,  demikian tutur Kamardi, suatu ketika. Ide Kamardi tentu sangat romantis  dan ide Ryaas Rasyid agak berhaluan liberal, artinya rakyat diminta  mengurus desa sendiri sementara peran dan tanggungjawab negara pada desa  dibuat seminimal mungkin. Namun ada sebuah pertanyaan, apakah ide self  governing community maupun otonomi asli masih relevan untuk diterapkan  pada semua desa di Indonesia? Saya akan membahas pertanyaan ini lebih  lanjut.
Ketiga, ide tentang “desa otonom” yang  sering dikemukakan oleh Ibnu Tricahyo, seorang pakar hukum tatanegara  dari PP Otoda Universitas Brawijaya Malang. Dia selalu menyoroti  kekeliruan besar UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 yang menempatkan  posisi desa sebagai subsistem pemerintahan kabupaten, sekaligus menerima  limpahan kewenangan dan alokasi dana dari kabupaten. Menurut dia, yang  melakukan desentralisasi kepada desa bukanlah pemerintah kabupaten  melainkan negara melalui pemerintah pusat. Karena itu, dia selalu  menegaskan bahwa kedudukan desa harus dipertegas lebih dulu dalam  struktur ketatanegaraan melalui konstitusi, kemudian diikuti dengan  penyerahan kewenangan kepada desa beserta alokasi dana secara langsung  dari APBN. Kedudukan desa tersebut tidak lain adalah “desa otonom”.  Hanya saja, ide maksimalis Ibnu Tricahyo itu butuh amandemen konstitusi,  sebuah pekerjaan jangka panjang yang melelahkan dan sarat pertarungan  politik yang keras. Pertanyaannya, apakah membuat desa otonom tidak bisa  dilakukan secara inkremental melalui undang-undang?
Posisi Desa 
Berdasarkan sketsa teori dan pengalaman sejarah, setidaknya ada tiga posisi politik desa bila ditempatkan dalam formasi negara.
Pertama, desa sebagai organisasi komunitas lokal  yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut dengan self-governing  community. Dalam tradisi Minangkabau, self-governing community ini  identik dengan “republik kecil”, sebuah posisi yang dimiliki  nagari-nagari pada masa lampau. Self-governing community berarti  komunitas lokal membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri  berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom, tidak dibentuk  oleh kekuatan eksternal dan tidak terikat secara struktural dengan  organisasi eksternal seperti negara. Secara historis, tidak hanya nagari  di Minangkabau yang punya predikat self-governing community, tetapi  juga desa-desa di Jawa maupun komunitas adat di daerah-daerah lain di  Indonesia. Kita juga mengenal pengalaman self-governing community dalam  bentuk commune di Eropa Daratan atau parish di Inggris Raya, yang setara  dengan desa di Indonesia. Meskipun sudah ada negara-bangsa yang lebih  besar, sampai saat ini commune dan parish masih tetap ada sebagai  organisasi komunitas lokal yang tidak berurusan dengan adminitrasi  pemerintahan negara.
Kedua, desa sebagai bentuk pemerintah lokal yang otonom  atau disebut local self government. Posisi ini sama dengan proyeksi  tentang “desa otonom” yang dikemukakan Selo Sumardjan dan Ibnu Tricahyo.  Local self government ini merupakan bentuk pemerintahan lokal secara  otonom, sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik (devolusi),  yakni negara mengakui pemerintah daerah yang sudah ada atau membentuk  daerah baru, yang kemudian disertai pembagian atau penyerahan kewenangan  kepada pemerintah lokal. Menurut UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004,  daerah sudah diposisikan sebagai local self government. Artinya daerah  membentuk sendiri institusi-institusi pemerintah daerah, pemerintah  daerah mempunyai keleluasaan penuh dalam perencanaan pembangunan dan  anggaran, menyelenggarakan pelayanan publik serta bertanggungjawab  kepada rakyat setempat. Sementara, bagi desa, sebutan “otonomi asli”  merupakan bentuk otonomi tradisional dalam kerangka self governing  community , dan posisi local self government merupakan bentuk “otonomi  modern” dalam payung negara bangsa. Jika desa akan dikembangkan menjadi  local self government, maka yang harus dilakukan bukan sekadar  menegaskan kewenangan asal-usul, melainkan negara melakukan  desentralisasi politik (devolusi) kepada desa, seperti yang dilakukan  negara kepada daerah. Dalam regulasi, misalnya, perlu ditegaskan bahwa  Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi provinsi,  kabupaten/kota dan desa.
Ketiga, desa sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat lokal atau  disebut dengan local state government. Ini merupakan bentuk lain dari  pemerintahan yang sentralistik, yang tidak melakukan devolusi, melainkan  hanya melakukan dekonsentrasi. Contoh yang paling jelas dari tipe ini  adalah kecamatan dan kelurahan. Keduanya bukan unit pemerintahan lokal  yang otonom atau menerima desentralisasi dari negara, melainkan sebagai  kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Daerah maupun desa di masa  Orde Baru juga dibuat sebagai kepanjangan tangan negara (local state  government). Model local state government ini jelas menimbulkan banyak  kerugian: ketimpangan ekonomi-politik pusat dan lokal, ketergantungan  dan ketidakmampuan lokal, dan hilangnya kedaulatan rakyat.
Ketiga posisi di atas bersifat absolut,  harus dibedakan dan dipilah secara tegas dan jelas. Penempatan posisi  daerah atau desa tidak boleh menggabungkan lebih dari satu model,  melainkan harus tegas memilih salah satu model agar penggunaan  kewenangan, pengambilan keputusan, penyelenggaraan pemerintahan dan  hubungan antarpemerintah lebih jelas dan efektif. Penggabungan lebih  dari satu model tentu akan menimbulkan ketidakjelasan penyelenggaraan  pemerintahan. Contoh yang paling konkret adalah posisi ganda provinsi.  Kabupaten/kota maupun masyarakat sering menuding ketidakjelasan peran  provinsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Ini  terjadi karena posisi ganda provinsi: di satu sisi ia sebagi daerah  otonom (local self government) yang menerima desentralisasi, di sisi  lain provinsi juga kepanjangan tangan pusat (local state government)  yang menerima dekonsentrasi.
Konteks Indonesia 
Pada awalnya kesatuan masyarakat  lokal/adat (desa, nagari, binua, kampung, gampong, negeri, huta, sosor,  marga, lembang, kuwu, pemusungan, yo, paraingu, lumban, dan lain-lain)  yang tersebar di penjuru Nusantara mempunyai karakter yang hampir sama.  Desa, atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat yang tergabung  berdasarkan garis keturunan (genealogi) yang mendiami wilayah (teritori)  tertentu. Orang tidak bisa mengukur berapa luas wilayah yang mereka  diami, tetapi selalu ada kearifan lokal untuk mengukur batas-batas  wilayah berdasarkan prinsip sejauh mata memandang atau sejauh batu  dilempar. Semuanya merupakan organisasi masyarakat lokal yang mempunyai  kepemerintahan atau kepengurusan sendiri (self governing community) yang  berdasar pada adat-istiadat setempat. Adat mengandung jati diri, norma,  nilai dan tata aturan untuk mengelola tanah, sumberdaya alam, warga  maupun hubungan-hubungan sosial (pernikahan, kematian, sengketa,  pembagian tanah, dan sebagainya). Setiap masyarakat adat mempunyai  tatacara adat untuk mengelola (merawat dan membagi) tanah (kekayaan)  secara komunal (bersama) dengan prinsip kesejahteraan (welfare society),  keseimbangan dan berkelanjutan. Pemimpin adat ditentukan secara  turun-temurun melalui jalan musyawarah tanpa pergolakan kekuasaan  (politik) di dalam lingkup keluarga atau masyarakat. Pemimpin adat  bukanlah jabatan yang sarat dengan kekuasaan dan kekayaan, tetapi posisi  kehormatan yang sarat dengan tanggungjawab untuk mengurus dan  melindungi tanah, penduduk, keamanan, hubungan-hubungan sosial, dan  sebagainya.
Di Sumatera Barat, nagari mempunyai  aturan hukum adat yang sangat kuat dalam hal pengelolaan (terutama  aturan tentang pembatasan penjualan) tanah pusako. Masyarakat adat Atoin  Meto di Timur Tengah Selatan (NTT) mempunyai aturan yang kuat dalam  mengelola kayu cendana. Kayu cendana boleh ditebang kalau umurnya sudah  tua dan harus melalui upacara adat. Suku Amungme di Timika (Papua) juga  mempunyai hukum adat untuk merawat secara seimbang dan keberlanjutan  terhadap S-3 (sungai, sampan dan sagu). Sungai tidak boleh dikotori,  sagu tidak boleh ditebang sembarangan. Demikian juga dengan suku Dayak  Kanayatn yang mendiami binua. Mereka memiliki sejumlah norma, kearifan  lokal dan kesantunan yang menjunjung tinggi prinsip keteladanan,  keadilan, kebersamaan, keseimbangan dan keberlanjutan dalam mengelola  warga, sumberdaya alam dan hubungan sosial. Tentu saja masih banyak  aturan hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan  sumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya.
Sekali lagi, berbagai kesatuan masyarakat  adat di atas mempunyai kesamaan karekter, meski bentuknya berbeda-beda.  Perbedaan utama antara desa di Jawa dengan kesatuan masyarakat adat di  daera-daerah lain (Luar Jawa) adalah bahwa desa-desa di Jawa mengalami  penaklukan lebih dulu oleh penguasa kerajaaan mulai dari Mataram Kuno  (Hindu) sampai Mataram Islam, yang kemudian diteruskan oleh penaklukan  pemerintah kolonial sejak abad ke-15. Berbagai kerajaan di Jawa yang  silih berganti pada umumnya berbentuk kerajaan agraris yang hidupnya  sangat tergantung pada tanah dan penduduk desa. Penguasa kerajaan (yang  mempunyai armada perang) mengklaim bahwa setiap jengkal tanah di wilayah  yang ditundukkannya merupakan miliknya. Rakyat desa tidak lagi  mempunyai kedaulatan atas tanah yang semua menjadi basis kehidupan  mereka. Penguasa kerajaan melakukan pemaksaan kepada rakyat desa untuk  menanami tanah dan mereka berkewajiban memberikan (setor) upeti (pajak)  kepada raja. Para pemimpin desa (bekel) bukan lagi sebagai pemimpin  rakyat desa, tetapi sebagai aparat kerajaan yang bertugas mengontrol  penduduk desa dan mengumpulkan upeti dari rakyat. Pemimpin desa menjadi  kaya raya dan ditakuti, sebaliknya rakyat desa selalu tertindas dan  jatuh miskin.
Di era Indonesia modern, selama enam  dekade terakhir posisi desa tidak pernah tegas dan jelas. Campuran  antarmodel digunakan untuk menempatkan posisi desa. Sampai era Orde  Baru, sisa-sisa self governing community di ara desa masih terasa,  tetapi melalui UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979 pemerintah menempatkan  daerah dan desa sebagai local state government alias sebagai kepanjangan  tangan negara. Masyarakat lokal sangat resisten dengan intervensi  negara ini, sehingga tujuan kontrol negara, modernisasi pemerintahan  desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa tidak berjalan optimal.  Kecuali di Jawa, masyarakat lokal selain kehilangan kedaulatan juga  menghadapi dualisme antara desa negara dengan organisasi adat.
Pada era reformasi, menyusul lahirnya UU  No. 22/1999, posisi desa juga belum tegas, meski UU itu mengakui  keberagaman desa-desa di Indonesia. Tetapi persoalan dasarnya bukan  terletak pada keragaman desa, tetapi pada posisi dan kewenangan desa.  Sejauh ini UU No. 22/1999 mencampuradukkan model local self government  secara terbatas dan model self governing community khusus untuk  mengakomodasi keragaman adat (kultur) lokal. Salah satu kelemahan  terbesar UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, menurut Ibnu Tricahyo,  adalah memberikan cek kosong kepada bupati untuk mengatur desa,  sekaligus menempatkan posisi desa sebagai bagian (subsistem) dari  pemerintah kabupaten. Pemerintah cenderung menempatkan (memindahkan)  masalah desa sebagai persoalan lokal, bukan sebagai persoalan nasional.
Bagaimana reposisi desa kedepan? Apakah  semua desa akan dibuat atau dikembalikan sebagai self governing  community seperti dibayangkan Ryaas Rayid atau semuanya dibuat sebagai  “desa otonom” atau local self government seperti diproyeksikan Ibnu  Tricahyo. Solusi Ryaas jelas tidak bisa dilakukan secara seragam untuk  seluruh desa di Indonesia, karena desa sejauh ini tetap menjadi unit  pemerintahan dan merupakan bagian dari formasi negara. Mau tidak mau  negara harus bertanggungjawab terhadap desa. Solusi Ibnu sering dianggap  sebagai bentuk penyeragaman yang bias Jawa. Lalu bagaimana?
Memang tidak solusi yang tunggal dan  seragam untuk memposisikan desa. Setidaknya ada dua variabel penting  yang harus diperhatikan. Pertama , pengaruh adat terhadap pemerintahan  desa yang modern. Sebut saja ini variabel tradisionalisme. Kedua ,  pengalaman dan kapasitas desa beradaptasi dengan nilai-nilai dan  perangkat modern dalam pemerintahan desa. Sebut saja ini variabel  modernisme. Antara tradisionalisme dan modernisme terus-menerus  bertarung sehingga akan berpengaruh terhadap model dan posisi  pemerintahan desa. Jika di suatu daerah tradisionalisme lebih kuat  ketimbang modernisme, maka desa-desa yang bersangkutan lebih tepat  dikembalikan menjadi organisasi komunitas lokal ( self governing  community) yang tidak lagi mengurus pembangunan dan administrasi  pemerintahan modern. Sebaliknya jika di suatu daerah pengaruh modernisme  lebih kuat ketimbang tradisionalisme, maka desa-desa yang bersangkutan  lebih baik diproyeksikan menjadi desa otonom (local state government).  Sedangkan jika pengaruh tradisionalisme dan modernisme sama-sama kuat,  keduanya bisa dikompromikan atau diintegrasikan menuju desa otonom  (local self government).
Tipologi desa di Indonesia 
Pertama, model “ada adat tetapi tidak ada desa”. 
Model ini menggambarkan bahwa desa hanya  sebagai komunitas lokal berbasis adat yang tidak mempunyai pemerintah  desa seperti yang terjadi pada komunitas-komunitas lokal di kawasan  Eropa dan Amerika. Kalau di Indonesia misalnya ada Rukun Tetangga (RT)  maupun Rukun Warga (RT). Sayangnya, RT di Indonesia juga mempunyai beban  dan urusan administrasi pemerintahan. Organisasi lain yang steril dari  urusan pemerintahan adalah komunitas atau organisasi masyarakat adat.  Intinya, komunitas lokal itu memiliki organisasi lokal yang lebih  menyerupai asosiasi lokal ketimbang institusi pemerintah. Organisasi  atau asosiasi lokal itu bukanlah bawahan struktur pemerintah yang lebih  tinggi, serta tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan  pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah, melainkan hanya menjalankan  fungsi mengurus urusan-urusan kemasyarakatan yang bersifat lokal dan  sukarela. Organisasi semacam ini sama sekali tidak meributkan masalah  desentralisasi dan otonomi lokal yang berhubungan dengan pemerintah,  kecuali hanya sebagai bentuk modal sosial yang digunakan oleh warga  untuk menolong dirinya sendiri, bekerjasama, membangun kepercayaaan, dan  bisa juga sebagai basis civil society untuk berpartisipasi dalam  pembangunan. Meski tidak berurusan dengan desentralisasi, bukan berarti  pemerintah mendiamkan masyarakat lokal itu. Wilayah maupun penduduk di  komunitas lokal itu tetap menjadi kewenangan dan tanggungjawab  pemerintah, terutama tanggungjawab pemerintah memberikan pelayanan  publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, air minum, listrik,  transportasi dan sebagainya) yang tidak mungkin mampu ditangani sendiri  oleh organisasi lokal.
Jika model ini dipilih, maka  konsekuensinya desa sebagai institusi pemerintahan lokal ( local self  government ) dihapuskan. Arena desentralisasi dan demokrasi formal tidak  lagi berada di desa, melainkan berada di level kabupaten/kota. Urusan  administrasi untuk warga bisa dikurangi dan kemudian dipusatkan di level  kecamatan. Pemerintah berkewajiban menyediakan layanan publik kepada  masyarakat, sekaligus melancarkan pembangunan desa yang masuk ke seluruh  pelosok desa.
Model ini tampaknya sangat cocok  diterapkan bagi masyarakat adat di banyak daerah yang selama ini  termasuk gagal memadukan antara adat dan desa. Beberapa daerah seperti  Papua dan Nusa Tenggara Timur sejak dulu terjadi dualisme antara desa  negara dan kesatuan masyarakat adat. Pemerintah desa negara tidak  berjalan secara efektif. Sedangkan masyarakat adat sedikit-banyak  mempunyai kontrol atas tanah ulayat (meski hal ini juga sudah hancur)  dan memperoleh legitimasi sosial di hadapan warga setempat. Pilihannya,  pemerintah desa bentukan negara dihapuskan sama sekali, sedangkan  kesatuan masyarakat adat sebagai self governing community direvitalisasi  untuk mengelola dirinya sendiri tanpa harus mengurus masalah  administrasi pemerintahan dan tidak memperoleh beban tugas dari  pemerintah. Model ini tentu akan mengakhiri dualisme antara desa dan  adat, sekaligus bisa memperkuat adat sebagai basis komunitas lokal.
Kedua, model “ada desa tanpa adat”. 
Model ini persis dengan desa-desa di Jawa  yang umumnya sudah lama berkembang sebagai institusi pemerintahan lokal  modern yang meninggalkan adat. Modernisasi pemerintahan desa melalui UU  No. 5/1979 relatif “sukses” diterapkan di Jawa. Bahkan UU No. 22/1999  merupakan embrio bagi tumbuhnya desa-desa sebagai local self government  yang tidak sama sekali meninggalkan spirit self governing community. Ini  terlihat dengan tradisi pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan  kemasyarakatan yang melekat di desa. Secara inkremental desa-desa di  Jawa mulai memupuk kemampuan mengelola pemerintahan dan pembangunan  secara baik, sementara arena demokrasi dan civil society juga mulai  tumbuh. Meski belum sebagian besar, banyak desa di Jawa dipimpin oleh  kepala desa progresif, yang menempa kemampuan dengan baik, mempunyai  rencana strategis sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan dan  pembangunan, serta menyiapkan APBDes yang baik (akuntabel, transparan,  dan partisipatif).
Desa-desa seperti itu sudah relatif siap  ditransformasikan menjadi local self government yang mempunyai predikat  otonomi secara. Dalam konteks ini perlu ada UU pemerintahan desa khusus  di Jawa yang menegaskan tentang otonomi desa (kedudukan dan kewenangan)  seperti halnya otonomi daerah di kabupaten/kota. UU itu menegaskan  kedudukan desa-desa di Jawa bukan sebagai bagian dari kabupaten semata,  melainkan juga sebagai bagian dari NKRI. Inilah yang disebut dengan  devolusi untuk desa. Penegasan tentang kedudukan desa itu juga disertai  dengan pembagian (distribusi) kewenangan secara proporsional antara  pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Dengan cara ini, desa-desa di  Jawa jelas akan mempunyai kewenangan devolutif dan distributif yang  lebih konkret, bukan lagi kewenangan kering atau kewenangan sisa yang  tidak jelas. Kewenangan juga diikuti dengan perimbangan keuangan atau  alokasi dana kepada desa untuk membiayai kewenangan itu. Konsekuensinya  pemerintah desa mempunyai hak yang lebih jelas, sekaligus berkewajiban  dan bertanggungjawab dalam “mengatur” dan “mengurus” tanah dan penduduk  desa untuk kesejahteraan masyarakat.
Jika kewenangan dan keuangan sudah  didistribusikan kepada desa, maka pemerintah supradesa tidak perlu lagi  mengutamakan pendekatan instruksi dan intervensi kepada desa. Instruksi  dan intervensi justru akan mematikan prakarsa dan potensi desa.  Pendekatan utama yang sebaiknya diutamakan adalah supervisi dan capacity  building. Kecamatan juga bisa berperan sebagai fasilitator dan  koordinator kerjasama antardesa supaya desa-desa lebih maju berkembang.  Pendekatan baru ini juga perlu disertai dengan spirit subsidiarity  (lokalisasi pengambilan keputusan, penggunaan kewenangan dan  penyelesaian masalah), dengan semangat menghormati, mempercayai dan  menantang desa.
Jika model local self government dipilih,  maka satuan dan struktur birokrasi hanya berhenti di level desa. Dusun  memang tetap penting, sebab secara historis dusun menjadi basis  identitas dan penghidupan rakyat desa, apalagi dalam perjalanannya desa  justru tumbuh sebagai birokrasi negara yang mengendalikan dusun. Akses  warga ke desa masih terasa jauh, sehingga dusun menjadi alternatif bagi  warga untuk berdemokrasi dan partisipasi. Dusun sebenarnya adalah satuan  komunitas yang lebih baik digunakan untuk membuat perencanaan  pembangunan yang partisipatif. Kepala dusun tidak mempunyai tugas-tugas  administratif melainkan sebagai koordinator pembangunan dan fasilitator  bagi partisipasi masyarakat.
Satuan RT maupun RW yang berada dalam  setiap dusun tentu bukan lagi sebagai bagian dari birokrasi desa. RT dan  RW tidak perlu lagi menjalankan tugas-tugas administrasi yang  dibebankan oleh desa. Dengan kalimat lain birokrasi dalam RT dan RW  lebih baik dipotong. Sebaliknya RT dan RW lebih baik disiapkan menjadi  modal sosial atau organisasi komunitas lokal yang berguna untuk menolong  diri sendiri, solidaritas sosial antarwarga maupun untuk menangani  persoalan komunitas secara bersama yang tidak bisa ditangani oleh  negara.
Ketiga, model “integrasi antara adat dan desa” atau terjadi peleburan antara desa dan adat. 
Model ini persis sama dengan nagari di  Sumatera Barat kondisi sekarang. Sumatera Barat telah melancarkan  “kembali ke nagari” sejak 2000 yang menggabungkan (integrasi) desa  negara dengan adat nagari menjadi satu wadah tunggal nagari. Jika  sebelumnya ada dualisme antara pemerintah desa negara dengan adat nagari  (dan adat mengalami marginalisasi), maka sekarang terjadi integrasi ke  dalam nagari, sehingga nagari tumbuh menjadi the local state. Nagari itu  menggabungkan antara skema local self government dan self governing  community, atau menegakkan prinsip tali tigo sapilin (negara, agama dan  adat). Nagari mengenal pembagian kekuasaan berdasarkan Trias Politica:  eksekutif (pemerintah nagari), legislatif (badan perwakilan nagari) dan  yudikatif (kerapatan adat nagari maupun majelis adat dan syarak) yang  bertugas menjadi instusi peradilan lokal (penyelesaian konflik lokal,  bukan pidana) dan badan pertimbangan kepada eksekutif dan legislatif  agar kebijakan nagari tetap sesuai dengan adat dan agama. Sesuai dengan  adat setempat, kepemerintahan dan kepemimpinan nagari bertumpu pada tigo  sajarangan (ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama), yang sekarang  ditambah unsur bundo kanduang dan pemuda. Sekarang nagari belum  menemukan konsep baru untuk mewadahi lima unsur nagari itu, tetapi  kelimanya masuk dalam badan eksekutif dan legislatif. Sedangkan unsur  Kerapatan Adat Nagari hanya mewadahi unsur ninik mamak, sedangkan  Mejelis Ulama khusus mewadahi unsur alim ulama.
Meski nagari mengenal legislatif (badan  perwakilan nagari) sebagai arena demokrasi perwakilan, tetapi model  demokrasi nagari tidak bertumpu pada hubungan eksekutif-legislatif itu.  Sesuai dengan adat setempat, praktik demokrasi nagari yang sudah  mengakar adalah demokrasi deliberatif, yakni permusyawaratan secara  elitis antar pemimpin nagari. Ini adalah titik kelemahan empirik yang  didistorsi oleh adat. Partisipasi perempuan dan pemuda hanya bersifat  simbolik dan formalistik. Akses mereka dalam proses deliberasi tetap  terbatas karena arena didominasi oleh elite nagari. The local state  nagari juga bersifat korporatis, dimana seluruh unsur diwadahi secara  tunggal di dalam wadah “negara” nagari. Akibatnya ruang dan aktor civil  society tidak bisa tumbuh dengan baik di aras nagari.
Nagari yang baru mempunyai sederet  kewenangan yang lebih jelas dan alokasi dana untuk membiayai  penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kewenangan  nagari antara lain mencakup kewenangan administratif, mengontrol tanah  ulayat, pasar, tata ruang nagari, dan seterusnya. Keputusan untuk  investasi di nagari, misalnya, tidak diputuskan secara sepihak oleh  kabupaten, melainkan keputusan pertama terletak pada negari.
Keempat , model “dualisme adat dan desa”. 
Contoh yang paling menonjol model ini  adalah desa-desa di Bali. Sampai sekarang di Bali tetap mempunyai dua  bentuk desa: desa dinas (negara) dan desa pakraman (adat). Desa dinas  adalah birokrasi kepanjangan tangan negara yang mengatur dan mengurus  masalah-masalah administrasi pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan  desa pakraman menjalankan fungsi merawat adat-istiadat, kontrol terhadap  pemerintah desa dinas, termasuk mengontrol penggunaan tanah adat dari  intervensi negara dan modal. Sejauh ini, desa pakraman tidak bersedia  digabung dengan desa dinas sebagaimana pengalaman di Sumatera Barat,  sebab mereka tidak mau kehilangan otonomi dan adat, serta tidak bersedia  berposisi secara hirarkhis di bawah negara.
Skema dualistik itu menarik sebab,  berbeda dengan doktrin Trias Politica, kekuasaan desa-desa di Bali  dipisah menurut garis pemerintahan dan pembangunan yang menjadi domain  desa dinas dengan adat dan kemasyarakatan yang merupakan domain desa  pakraman. Desa pakraman menjadi organisasi komunitas lokal yang menjadi  identitas, basis otonomi dan kontrol terhadap pemerintah desa dinas.  Dengan demikian desa pakraman menjadi arena civil society dan  partisipasi warga. Berbeda dengan Kerapatan Adat Nagari di Sumatera  Barat yang terintegrasi dan ikut “menguasai” pemerintahan nagari, desa  pakraman di Bali mempunyai domain sendiri yang otonom dan ikut  “mempengaruhi” atau “mengontrol” negara.
Dengan skema itu Trias Politica  (eksekutif, legitlatif dan yudikatif) dalam konteks desa dinas tidak  berlaku. Sampai sekarang desa-desa dinas di Bali tidak mempunyai Badan  Perwakilan Desa sebagaimana terjadi di desa-desa di Jawa. Desa dinas  tidak berjalan secara efektif sebagai institusi modern yang menjalankan  fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Di sana ada  dualisme antara kepala desa (dinas) dengan pendesa (pemimpin desa  pakraman). Warga lebih percaya pada pendesa ketimbang kepala desa. Ini  persoalan yang serius. Pemerintah desa dinas menghadapi delegitimasi dan  distrust dari warga, sementara desa pakraman menjadi “tirani” yang  tidak bisa dikontrol publik. Sebagai contoh desa pakraman tumbuh menjadi  “negara” yang mempunyai polisi adat (pecalang) yang relatif represif  kepada warga.
Kelima, model “tidak ada adat dan tidak ada desa” alias model kelurahan. 
Kelurahan adalah bentuk satuan  administrasi birokrasi negara yang bekerja di aras lokal, atau sering  disebut sebagai the local state government. Berbeda dengan desa,  kelurahan tidak mempunyai otonomi, melainkan hanya menjalankan  tugas-tugas administrasi pemerintahan yang didelegasikan dari atas.  Pimpinan kelurahan adalah lurah, yang berstatus PNS dan posisinya  sebagai pejabat administrasi (karir) yang diangkat. Dia tidak  bertanggungjawab kepada rakyat, melainkan kepada pejabat yang  mengangkatnya.
Pengaturan tentang kelurahan sudah  dimulai secara tegas dalam UU No. 5/1979. UU ini memberi ruang peralihan  dari desa yang otonom menjadi keluarahan yang berstatus sebagai unit  administratif. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa desa-desa yang berada  di wilayah perkotaan, urbanized, industrialized atau menjadi pusat  pemerintahan dan perdagangan, telah berubah menjadi kelurahan. Dengan  sendirinya kelurahan tidak lagi mempunyai hak dan kontrol atas tanah  ulayat atau tanah bengkok, semua ini diambil alih oleh negara.
Perubahan dari desa menuju kelurahan  tentu memperbaiki sistem birokrasi lokal, juga mengakhiri tarik-menarik  antara desa dan supradesa, atau antara adat dengan negara. Tetapi  kelurahan menghilangkan otonomi dan demokrasi desa. Umumnya perubahan  dari desa ke kelurahan merupakan kehendak supradesa untuk meningkatkan  pendapatan pajak dan melancarkan kapitalisasi terhadap tanah yang  menjadi milik desa. Karena itu, jika dilihat dari sisi desentralisasi  dan demokrasi lokal, serta bahaya kapitalisasi, maka perubahan dari desa  menjadi kelurahan bukanlah model pilihan yang kami rekomendasikan.
Kewenangan Desa 
Kewenangan sering dipahami sebagai hak  legal secara penuh untuk bertindak mengatur dan mengelola rumah  tangganya sendiri. Ada pula yang memahami bahwa kewenangan adalah  kekuatan formal perangkat negara untuk mengambil keputusan yang bersifat  mengikat dan memaksa terhadap warga negara. Kewenangan juga bisa  dipahami sebagai instrumen administratif untuk mengelola urusan. Dari  perspektif pemberdayaan, kewenangan identik dengan “pancing” yang bisa  digunakan oleh pemerintah lokal untuk memancing ikan di kolam, meski  kolam dan ikan itu sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, kewenangan  akan memperkuat posisi dan eksistensi subyek pemilik kewenangan itu  untuk menjadi subyek hukum yang leluasa dan otonom dalam bertindak.  Kewenangan akan membuat otonomi, dan bahkan skala yang lebih tinggi akan  membuat kedaulatan.
Penerapan kewenangan akan terbentang  mulai dari pembuatan keputusan, pelaksanaan, dan kontrol atas keputusan  tersebut dalam rangka mengelola (merencanakan, mengumpulkan, membagi,  merawat, dan seterusnya) barang-barang atau aset publik (warga, jabatan,  wilayah, tanah, urusan tugas, hutan, laut, uang, dan lain-lain) dalam  lingkup yurisdiksinya. Karena kewenangan mempunyai implikasi yang  serius, misalnya pengaturan dan pemaksanaan terhadap warga, maka  pemegang kewenangan tersebut harus bertanggungjawab terhadap pemberi  mandat atau obyek yang terkena kewenangan.
Dengan kalimat lain, kewenangan desa  secara substantif mengandung beberapa hal. Pertama, keleluasaan desa  mengatur rumah tangga dan penduduk untuk menciptakan keteraturan dan  kepastian. Kedua, fungsi desa mengurus atau mengelola barang-barang  publik (termasuk pelayanan publik) untuk kesejahteraan warga desa.  Ketiga, hak desa mengelola atau mengambil sumberdaya ekonomi.
Bagaimana dengan kewenangan desa?  Pembicaraan tentang kewenangan desa sebenarnya sangat relevan dilakukan  dalam konteks desa sebagai local self government, atau setidaknya  pembicaraan itu akan mengarah pada pengembangan desa menuju local self  government. Kalau saya cermati dari sisi historis dan legal-formal, desa mempunyai empat jenis kewenangan. 
Pertama, kewenangan generik atau kewenangan asli, 
yang sering disebut hak atau kewenangan  asal-usul yang melekat pada desa (atau nama lain) sebagai kesatuan  masyarakat hukum. Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai property  right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri  (Yando Zakaria dkk, 2000 dan 2003), atau yang sering disebut sebagai  wujud otonomi asli. Ada beberapa jenis kewenangan generik yang sering  dibicarakan:
- Kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri.
- Kewenangan mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat, dll).
- Kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat.
- Kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk adat-istiadat).
- Kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community justice system), misalnya dalam hal penyelesaian konflik lokal. Di Sumatera Barat, misalnya, terdapat lembaga Kerapatan Adat Nagari yang mempunyai kewenangan dalam menjalankan peradilan, terutama penyelesaian sengketa pusako. Di Jawa, dulu, ada dewan morokaki, sebuah wadah para tetua desa yang memberikan pertimbangan kepada lurah desa, sekaligus menjalankan fungsi penyelesaian sengketa lokal.
Kewenangan generik tersebut sebenarnya  yang menjadi pertanda bagi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau  desa sebagai subyek hukum yang otonom. Tetapi, sekarang, kewenangan  generik bukan hanya susah untuk diingat kembali, tetapi sebagian besar  sudah hancur. Komunitas adat (desa adat) yang paling menderita atas  kehancuran kewenangan generik. Adat telah kehilangan eksistensinya  sebagai subyek hukum untuk mengelola property right. Banyak tanah ulayat  yang kemudian diklaim menjadi milik negara. Ketika desa dan adat  diintegrasikan ke dalam negara, maka negara membuat hukum positif yang  berlaku secara nasional, sekaligus meniadakan hukum adat lokal yang  dulunya digunakan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.  Sengketa hukum dan agragia antara negara dengan adat pun pecah  dimana-mana yang sampai sekarang sulit diselesaikan secara karitatif  karena posisi (kedudukan) desa adat yang belum diakui sebagai subyek  hukum yang otonom.
Kedua , kewenangan devolutif, 
yaitu kewenangan yang harus ada atau  melekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal  (local-self government), meski desa belum diakui sebagai daerah otonom  seperti kabupaten/kota. Desa, sebagai bentuk pemerintahan lokal  (local-self government) sekarang mempunyai perangkat pemerintah desa  (eksekutif) dan Badan Perwakilan Desa (BPD sebagai perangkat legislatif)  yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan desa sendiri. Di masa  Orde Baru di bawah UU No. 5/1979, kewenangan devolutif dalam hal  pembuatan Perdes ini tidak dimiliki oleh desa. Sebagai contoh, ada  sejumlah kewenangan desa yang bisa dikategorikan sebagai kewenangan  devolutif:
- Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa;
- Pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa;
- Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan perangkat desa;
- Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat;
- Penetapan dan pembentukan BPD;
- Pencalonan, pemilihan dan penetapan angota BPD;
- Penyusunan dan penetapan APBDes;
- Penetapan peraturan desa;
- Penetapan kerja sama antar desa;
- Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES);
Penetapan kewenangan devolutif tersebut  sebenarnya sudah merupakan kemajuan yang cukup signifikan, meskipun  dalam praktiknya masih banyak masalah yang muncul. Contohnya adalah  penetapan jumlah BPD, rekrutmen perangkat, dan SOT desa. Sekian jumlah  kewenangan itu bila dilaksanakan dengan baik oleh desa, tentu, akan  secara bertahap menempa kemampuan dan kemandirian desa. Ke depan ada  pula gagasan kewenangan devolutif yang perlu dilembagakan di desa, yakni  membuat desa sebagai entitas pembangunan yang otonom, sehingga desa  secara otonom bisa membuat perencanaan dan pembiayaan pembangunan  berdasarkan preferensi lokal. Inilah yang saya sebut sebagai local-self  planning, sebagai alternatif atas bottom-up planning yang selama ini  diterapkan di daerah, tetapi penuh dengan masalah dan manipulasi.
Ketiga, kewenangan distributif, 
yakni kewenangan mengelola urusan  (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh  pemerintah kepada desa. Jika mengikuti UU No. 22/1999 dan UU 32/2004,  kewenangan distributif ini disebut sebagai “kewenangan yang oleh  peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah  dan pemerintah”, yang dalam pratiknya sering dikritik sebagai  “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan sisa” karena  desa hanya menerima kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambil  kabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa.
Bagaimana bentuk-bentuk kewenangan  distributif? Kabupaten Solok, misalnya, sudah melakukan distribusi  sejumlah 111 urusan kepada nagari, yang hal itu bisa disebut sebagai  kewenangan distributif. Demikian juga dengan Ditjen PMD Depdagri pada  tahun 2001 sudah pernah menyiapkan Manual Pemerintahan Desa, yang salah  satu isinya adalah positive list tentang kewenangan desa berdasarkan  bidang-bidang pemerintahan dan pembangunan. Daftar kewenangan itu saya  sebut dengan kewenangan distributif, yang perlu dicermati kembali dan  dilembagakan menjadi kebijakan dan regulasi resmi.
Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. 
Ini sebenarnya bukan termasuk kategori  kewenangan desa karena tugas pembantuan hanya sekadar melaksanakan tugas  tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber  daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan  mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Titik kewenangannya  justru bersifat “negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas  pembantuan bila tidka disertai pendukungnya.
***
Disadur dari naskah Sutoro Eko Ketua  Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD”, Direktur  INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) Yogyakarta, dan Ketua Badan  Pengarah Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).
Makalah disampaikan dalam SARASEHAN  NASIONAL MENGGAGAS DESA MASA DEPAN diselenggarakan oleh kerjasama  Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Departemen  Dalam Negeri, Forum Penembangan Pembaharuan Desa (FPPD) dan Democratic  Reform Support Program (DRSP) USAID, Jakarta 3-4 Juli 2006.
 RSS Feed
 RSS Feed Twitter
 Twitter
 








 
 
0 komentar:
Posting Komentar