Sabtu, 19 November 2011

Otonomi adalah keleluasaan untuk mengurus diri sendiri. Tak ada otonomi tanpa adanya kewenangan yang mandiri untuk mengelola semua sumberdaya yang ada secara optimal. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai landasan konstitusional adanya otonomi daerah adalah adanya semangat untuk mendelegasikan kewenangan pemerintahan yang sangat luas dalam rangka optimalisasi sumberdaya daerah.
Otonomi daerah juga bukan hendak menjadikan warna  NKRI menjadi hilang dan menjadi terlalu dominan warna daerahnya. Hal ini bertentangan dengan semangat negara kesatuan yang telah secara konsesus disepakati bersama. Namun otonomi juga bukanlah pembagian kekuasaan secara merata ke daerah namun tetap sebagai kepenjangan kepentingan pusat.
Otonomi seharusnya adalah sebuah upaya yang sistematis dan terintegrasi dari daerah untuk mengoptimalkan semua sumberdaya yang ada demi kemajuan daerahnya dan NKRI tetap sebagai bingkainya. Tentu hal ini sangat sulit untuk diaplikasikan secara benar apalagi dalam atmosfir yang masih samar-samar dan penuh kepentingan pendek serta semangat sentralisasi yang belum punah secara total.
Desa sebagai wilayah otonom yang dijamin oleh undang-undang sampai sejauh ini masih belum merasakan apa itu otonomi. Pemerintah desa lebih banyak sebagai ujung tombak dari program-program pemerintah dan pemerintah daerah dan ujung tombok dari missprogram yang terjadi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, sebab sedianya otonomi harus dimulai dari tingkat desa sebagai entitas sosial masyarakat yang relatif homogen dengan daya jangkau yang tidak terlalu luas.
Kewenangan pemerintah desa sampai sejauh ini masih saja dikerangkeng, padahal sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah desa seharusnya mendapat prioritas kemandirian yang luas.
Ambiguitas semantis dalam undang-undang tersebut seringkali diterjemahkan secara sepihak baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dalam rangka memasung semangat otonomi di tingkat desa. Secara tekhnis undang-undang tersebut harus diterjemahkan oleh peraturan pemerintah. Peraturan daerah bahkan oleh peraturan kepala daerah. Selama ini semangat otonomi yang disandang oleh undang-undang tersebut jadi mentah lagi pada tahapan terjemahan operasional.
Hal ini patut disayangkan tentu saja. Desa sebagai entitas pemerintahan paling kecil seharusnya diberikan kemandirian dan inisiatif yang luas dalam rangka membangun dan memanfaatkan sumberdaya daerahnya. Minimnya SDM biasanya menjadi alasan untuk mengkebiri kemandirian tersebut. Desa dianggap tidak akan mampu melakukan pengelolaan keuangannya sendiri misalnya.
Pengebirian otonomi desa tersebut berakibat sangat fatal pada laju peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Jarang sekali desa yang memiliki APBDes yang ideal contohnya.
Kemandirian dalam pengelolaan keuangan dan penghargaan terhadap inisiatif desa untuk menentukan sekala prioritas dalam pembangunan daerahnya adalah mutlak harus dilakukan. Tanpa adanya pendelegasian kewenangan mengelola keuangan secara mandiri, desa akan tetap saja menjadi ujung tombak dan ujung tombok sekaligus. Masyarakat tentu saja yang akan merasakan langsung akibat dari disorientasi otonomi tersebut.
Pemerintahan desa akan tetap dianggap sebagai unsur pelengkap dan objek penderita saja seandainya otonomi tetap setengah hati. Padahal kemandirin pemerintahan desa akan mampu menjadi stimulan bagi terwujudnya masyarakat yang mandiri, demokratis dan  terbuka. Pendelegasian kewenangan yang setengah setangah selama ini telah mengaibatkan stagnasi di masyarakat, urun rembug pembangunan yang selama ini terjadi menjadi sia-sia karena pada akhirnya skala prioritas pembangunan serta tekhnis pelaksanaan akan langsung diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Bantuan yang selama ini diberikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah biasanya hanya gebyah uyah saja bukan berdasarkan skala prioritas. Imbas dari kebijakan tersebut tentu saja hanya mengedepankan keadilan anggaran tanpa melihat keadilan substantifnya.
Otonomi yang setengah hati diberikan kepada desa juga otomatis mematikan perencanaan startegis dari desa. Desa selama ini hanya terima jadi semunya, atas nama aturan normatif kepentingan-kepentingan desa akan langsung tergerus oleh kepentingan fihak-fihak atas. Akhirnya desa tidak punya ‘hanca’ yang harus digarap.
Otonomi desa seharusnya mendapat prioritas untuk diberikan secara luas. Sebab dengan pemberian otonomi luas tersebut desa akan menjadi leading sektor dalam upaya pengembangan pembangunan terintegrasi menuju masyarakat yang terbuka dan demokratis sebagaimana yang dicita-citakan.
Wallahu’alam….
* Kepala Desa Bungursari – Purwakarta dan Ketua DPC APDESI Kabupaten Purwakarta

0 komentar:

Posting Komentar